Memadamkan pemberontakan Sadeng dan Keta
Pada tahun 1329, Patih Majapahit pada waktu itu Arya Tadah (Mpu Krewes) ingin mengundurkan diri dari jabatannya. Ia menunjuk Gajah Mada yang pada waktu itu menjabat Patih Kadiri sebagai penggantinya, namun Gajah Mada sendiri tidak langsung menyetujuinya. Ia ingin membuat jasa terhadap Majapahit terlebih dahulu, dengan jalan menundukkan Sadeng dan Keta yang saat itu sedang memberontak terhadap Majapahit. Alkisah, Sadeng dan Keta akhirnya tunduk di bawah kaki Majapahit, dan Gajah Mada pun resmi diangkat sebagai Mahapatih Majapahit oleh Tribhuwanottunggadewi pada tahun 1334.
Pada acara pelantikannya, dengan menghunus keris pusakanya (Surya Panuluh, yang sebelumnya adalah milik Kertarajasa Jayawardhana), Gajah Mada pun mengangkat Sumpah bakti terhadap Majapahit yang terkenal dengan Sumpah Amukti Palapa yang pada dasarnya adalah pernyataan program politik Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara di bawah telapak kaki Majapahit.
Sumpah Palapa ini sangat menggemparkan para undangan yang hadir saat pelantikan Gajah Mada tersebut. Adalah Ra Kembar yang mengejek Gajah Mada, Jabung Trewes dan Lembu Peteng tertawa terpingkal-pingkal mendengar sumpah tersebut. Gajah Mada merasa terhina oleh mereka, karena sumpah tersebut diucapkannya dengan kesungguhan hatinya. Maka ia pun turun dari mimbar (paseban), menghadap kaki Ratu dan menyatakan kesedihannya atas penghinaan tersebut. Akhirnya setelah Gajah Mada resmi diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, iapun kemudian satu-persatu menyingkirkan Ra Kembar, sekaligus membalaskan dendamnya karema Ra Kembar telah mendahuluinya menyerbu Sadeng. Berikutnya Jabung Trewes dan Lembu Peteng, serta Warak ikut pula disingkirkannya.
Program politik Gajah Mada ini berbeda dengan program politik pendahulunya yaitu Kertarajasa dan Jayanegara. Kedua raja terdahulu ini memilih Mahapatih Majapahit dari orang-orang terdekat di sekitarnya, yang dianggap telah berjasa kepadanya, akibatnya pada masa pemerintahan kedua raja terdahulu itu, mereka hanya sibuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit, tanpa dapat memperhatikan atau menjalankan perluasan wilayah kerajaan Majapahit.
Politik penyatuan Nusantara ini dibuktikan dengan sungguh-sungguh oleh Gajah Mada dengan memperkuat armada dan pasukan Majapahit serta dibantu oleh Adityawarman, melaksanakan politik ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan Majapahit sampai ke tanah seberang. Atas jasa-jasanya tersebut, Adityawarman kemudian diangkat menjadi raja di tanah Melayu pada tahun 1347, untuk menanamkan pengaruh atau kekuasaan Majapahit di wilayah Sumatera sampai ke Semenanjung Tanah Melayu.
Daerah-daerah yang berhasil dikuasai oleh Majapahit di bawah perjuangan Gajah Mada pada waktu itu adalah : Bedahulu (Bali) dan Lombok pada tahun 1343, Palembang, Swarnabhumi (Sriwijaya), Tamiang, Samudra Pasai dan negeri-negeri lain di Swarnadwipa (Sumatera), Pulau Bintan, Tumasik (Singapura), Semenanjung Malaya dan sejumlah negeri lain di Kalimantan seperi Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei (Pu-ni), Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei dan Malano.
Politik penyatuan Nusantara ini berbuah meredanya pertumpahan darah antar kerajaan-kerajaan tersebut yang semula selalu saling mengintai dan berupaya saling menguasai melalui jalan peperangan, yang tentunya menimbulkan banyak korban, terutama rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa. Dengan penyatuan di bawah telapak kaki Majapahit (yang ber-semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa dan Mitreka Satata), terbukti berhasil menekan peperangan sehingga membuat kerajaan-kerajaan bawahan tersebut lebih menaruh perhatian kepada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya secara menyeluruh. Selain itu, dengan politik penyatuan Nusantara ini, membuat Majapahit menjadi lebih kuat terutama dalam menghadapi ancaman penjajah asing pada waktu itu (Tartar/Tiongkok), sehingga dapat menggantinya menjadi hubungan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Selanjutnya silahkan membaca bagian ketiga
ABSTRAKSI PENELITIAN PENELUSURAN JEJAK MAKAM PATI GAJAH MADA DAN PRAJURITNYA DI BUTON SULAWESI TENGGARA
BalasHapusOLEH : ALI HABIU
Sebagai tokoh yang besar, Gajah Mada sampai saat ini masih tetap misteri dalam sejarah Indonesia. Bahkan beberapa daerah saling mengklaim tentang tempat kelahiran dan moksanya Gajah Mada.. Sedangkan di dalam masyarakat Buton mereka meyakini beberapa tempat yang dipercayai menjadi makam Gajah Mada, yaitu di Kampung Majapahit Desa Masiri Kecamatan Batauga, Desa Takimpo Kecamaatan Pasar Wajo, serta di dalam masyarakat Liya Kecamatan Wangi-Wangi Selatan mengenai silsilah Gajah Mada, serta memiliki bukti-bukti artefak tempat Moksanya Gajah Mada. Di samping itu, Orang Buton meyakini bahwa, Buton adalah tempat keresian yang dipilih oleh Gajah Mada untuk menenangkan diri dan mengakhiri hidupnya. Meskipun belum ada penelitian yang mendalam tentang masalah terkait, namun asumsi tersebut bukan tanpa alasan. Bila pengasingan adalah suatu upaya untuk melakukan perenungan dan tapa brata dalam tradisi Hindu serta untuk mencapai ketenangan batin, maka logis bila pelakunya memilih daerah atau wilayah yang diperkirakan jauh dari hiruk pikuk namun tetap masih dalam wilayah kekuasaan Maja Pahit. Dalam konteks tersebut, Buton dapat diduga menjadi salah satu pilihan selain daerah-daerah lainnya. Asumsi ini beranjak dari keterangan yang terdapat dalam Negarakretagama pupuh LXXVIII yang menyebutkan, bahwa desa keresian seperti berikut: Sampud, Rupit, Pilan, Pucangan, Jagadita dan Pawitri masih sebuah lagi Butun (baca : Buton). Disitu terbentang taman, di dalamnya didirikan Lingga dan saluran air yang mulia mahaguru – demikian sebutan beliau. Jika Buton adalah bagian dari kekuasaan Maja Pahit dan lebih penting lagi Buton adalah desa keresian, maka asumsi orang Buton yang mengkalaim wilayah ini sebagai pilihan Gajah Mada untuk mengakhiri karirnya akibat konflik internal dengan Hayam Wuruk boleh jadi benar adanya.
Selain petunjuk tentang posisi Buton sebagai bagian dari Majapahit, yang memungkinkan bagi Gajah Mada untuk memilih wilayah ini sebagai tempat menenangkan diri dan moksa. Dalam Pupuh ke XIV Negarakretagama disebutkan bahwa Ingkang sakasanusa ………Butung (Buton) Banggawi Kuni Cra-liya-o mwang i(ng) (Liya Wangi-Wangi)……. makadi ning angeka nusatutur. Oleh karena itu, penelitian mengenai Jejak Gajah Mada di Buton merupakan salah upaya yang harus dilakukan guna menemukan jejak asal-usul dan tempat moksa Gajah Mada di Buton, mengingat, asal-usul Gajah Mada hingga kini di Indonesia yang masih tetap misteri.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai jejak Gajah Mada di Buton, baik dalam bentuk artefak, naskah maupun dalam bentuk memori kolektif masyarakat Buton terhadap Gajah Mada. Karena dengan adanya penelusuran jejak Gajah Mada dalam masyarakat Buton akan melengkapi atau memberikan kejelasan para sejarahwan atas kebuntuan dalam mengungkapkan asal-usul Gajah Mada yang selama ini kabur dalam penulisan sejarah Indonesia. Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai asal-usul dan tempat moksa Gajah Mada yang diyakini didalam masyarakat Buton. Di samping itu, tujuan penelitian ini juga untuk memberikan jawaban atas kekosonngan sejarah tokoh Gajah Mada yang selama tetap misteri dalam penulisan sejarah Indonesia.*****
Diposkan oleh opinion-publika.blogspot.com di 06:22 Link ke posting ini
Label: abstraksi penelitian gajah mada
Proposal Penelitian Gajahmada di wilayah Buton ada yang plagiat. Masih dalam penyelidikan apakah dari kelompok peneliti atau kelompok lain.... !
BalasHapus